Bangunan Masjid An-Nur Nurul Miftahussofyan di Dusun Gomang,
Desa Lajulor, Kecamatan Singgahan, Tuban terbilang unik jika dibandingkan
masjid pada umumnya. Masjid yang dibangun 18 Agustus 1994 di lingkungan Pondok
Pesantren (Ponpes) Wali Songo, Gomang itu hanya bertumpu pada satu tiang besar
dari kayu jati berdiameter 85 centimeter dan tinggi 27 meter yang di ujung
atasnya dihiasi akar pohon jati.
Di bawah terik matahari dalam suasana bulan puasa, tampak
para santri Ponpes Walisongo berduyun-duyun ke masjid di sebalah selatan asrama
untuk menjalankan salat dluhur usai mengaji bersama sang kiai. Muda mudi
berbalut busana Islami itu memenuhi masjid berlantai kayu yang terletak di
tebing perbukitan tengah hutan jati KPH Jatirogo.
Surya yang berkunjung ke tempat itu, Minggu (30/8), ditemui
KH Noer Nasroh Hadiningrat, pengasuh serta pendiri Ponpes Walisongo dan Masjid
An Nur. Di halaman pondok yang berjarak sekitar 73 km dari kota Tuban itu, kiai
kelahiran 1954 ini bercerita tentang kisah berdirinya pondok dan masjid
tersebut.
Awalnya, setelah mondok di berbagai ponpes di Indonesia,
Noer Nasroh diminta kiainya untuk mengabdikan ilmunya di Dusun Gomang yang kala
itu meruakan daerah terisolir dengan penduduk hanya 12 kepala keluarga (KK).
Para penduduk saat itu menganut aliran Sapto Darmo yang menyembah matahari dan
bersembahyang menghadap ke arah timur. Tak hanya itu, pada zaman tersebut warga
Gomang selalu bersembunyi setiap kali ada polisi atau pamong desa datang.
Diceritakan Kiai Nur, ketika pertama datang ke susun
tersebut, ia mengawali syiar Islam dengan mengajarkan baca tulis kepada warga.
Setelah itu, membantu mereka membangun saluran air dan jalan, kemudian
perlahan-lahan memasukkan ajaran Islam di dalamnya. Sampai pada tahun 1977 Kiai
Nasrullah mendirikan Ponpes Walisongo dengan santri saat itu hanya enam orang.
Hari demi hari, nama Ponpes Walisongo makin dikenal. Sampai
tahun 1994 tercatat ada 800 santri mondok di sana. “Sampai tahun itu, saya
masih kebingungan lantaran belum punya masjid. Sampai-sampai, sempat empat kali
berpindah lokasi untuk salat Jumat. Mulai dari menggunakan musala hingga
memanfaatkan ruang pengajian,” kisah bapak enam anak ini.
Dengan modal uang Rp 750.000, Kiai Nur Nasrullah dan para
santrinya lalu bertekad mendirikan masjid. “Saat itu pembelian kayu dibatasi
oleh pemerintah. Dan jika melebihi batas harus melalui proses yang sangat
sulit,” katanya.
“Tapi alhamdulillah, saya mendapat bantuan dari Pak Miftah
yang saat itu menjabat ADM Perhutani dan Pak Sofyan sebagai Asper. Makanya,
untuk mengenang, nama kami bertiga diputuskan untuk digunakan sebagai nama
masjid ini (An-Nur Nurul Miftahussofyan, -Red),” sambungnya.
Dari semua bahan yang sudah disiapkan untuk membangun masjid
dengan arsitektur yang telah disiapkan oleh Kiai Nasroh sendiri, yakni berkaca
pada ajaran Walisongo, diputuskan pembangunan masjid dimulai hari Minggu. Untuk
tahap awal, yang paling disiapkan pendiriannya adalah kayu sebagai tiang utama
masjid. Pasalnya, untuk mendirikan kayu sebesar itu tentunya butuh cara dan
tenaga lebih.
‘Ditiup’ Allah
Mendengar kabar rencana pendirian masjid unik ini, banyak
warga dari daerah lain ingin melihat langsung, termasuk Bupati Tuban saat itu.
“Awalnya, disiapkan dengan cara diberi pengait tali dari kulit bambu. Tapi
menjelang pembangunan saya berpikir beberapa kali karena menganggap hal itu
sepertinya tidak mungkin. Masak kayu sebesar itu hanya ditarik bersama-sama
dengan tali dari kulit bambu?,” ujarnya.
“Karena itu, sebelaum hari H, tepatnya hari Kamis, saya
berusaha mendirikan kayu tersebut sendirian. Dan anehnya, saat tali yang
terbuat dari kulit bambu tersebut saya tarik, tiang utama sebesar itu bisa
berdiri,” tambahnya.
Kiai Nasroh mengaku heran juga saat itu. “Tapi
alhamdulillah, dengan ‘bolah’ (disebul/`ditiup` Allah), kayu jati itu berdiri.
Awalnya agak menceng, namun cepat-cepat saya luruskan sebelum ada orang lain
yang tahu,” akunya. “Jadi, pendirian tiang utama itu tidak jadi dilaksanakan
hari Minggu seperti yang dijadwalkan,” sambungnya.
Selang beberapa saat, warga yang mengetahui berdirinya kayu
tersebut langsung berdatangan untuk melihat. Sementara para wanitanya langsung
mendekati galian di bawah tiang dan memasukkan uang receh di dalamnya, seperti
kisah pendirian keraton Mataram zaman dulu. “Mungkin kisah pendirian keraton
Mataram yang membuat para perempuan desa di sini langsung memasukkan uang receh
itu,” terangnya.
Berikutnya, pembangunan masjid dilanjutkann oleh Kiai Nasoh
bersama para santrinya dengan mendapat bantuan dari sejumlah dermawan. “Semua
pembangunan kita lakukan sesuai ajaran Nabi Sulaiman, bahwa dalam pembangunan
masjid tidak diperkenankan mengeluarkan suara keras. Termasuk dalam pemasangan
batu-batunya,” ujarnya.
“Kalau Nabi Sulaiman menyuruh burung hud-hud mengambil besi
kuning guna memotong batu agar tidak bersuara, kita hanya bisa memasang satu
persatu batu bata dengan bacaan Ayat Kursi sambil berusaha tidak mengeluarkan
suara sama sekali,” lanjutnya.
Satu tiang utama masjid tersebut dibantu dengan delapan
tiang kecil sebagai penyangga atap pinggir masjid. Dalam peletakannya, delapan
tiang tersebut ditata sedemikian rupa sehingga ketika dilihat dari berbagai
sisi tampak jumlahnya sembilan tiang.
Menurut Kiai Nasrullah, ini merupakan simbol perjuangan Wali
Sembilan dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa dengan cara fleksibel mengikuti
adat masyarakat. “Tidak radikal,” katanya.
Selain itu, di atas atap masjid dibangun beberapa sap
ditempatkan gembol (akar) kayu jati sebagai mahkota. Masjid tidak menggunakan
kubah dari aluminium atau semacamnya seperti yang umumnya digunakan sebagian
masjid di Indonesia.
Tak hanya itu, semua yang ada di dalam masjid tersebut juga
mengandung arti. Satu tiang tersebut merupakan petunjuk bahwa setiap yang masuk
dalam masjid bisa mengingat zat Allah yang Maha Satu dengan kebesaran dan
ketinggiannya. Sedangkkan panjang tiang 27 meter merupakan simbol bahwa salat
diwahyukan kepada Rasulullah melalui Isro’ Mi’roj pada 27 Rajab.
Lebar masjid 17 meter berarti Al Quran yang diturunkan pada
tanggal 17 Ramadan, panjang masjid 40 meter berarti nabi menerima wahyu pertama
pada usai 40 tahun. Sementara tiang tambahan kanan dan kiri yang berisi delapan
tiang ditambah satu tiang utama menunjukkan bahwa Islam masuk di tanah Jawa
atas prakarsa sembilan wali.
Lambat laun, masjid ini makin dikenal masyarakat
meski tempatnya berada di tengah hutan di daerah perdalaman. Termasuk Ponpes
Walisongo juga semakin kesohor seantero Nusantara. Bahkan, saudara ipar Sultan
Hassanah Bolkia dari Brunai Darussalam bernama Abdul Hamid, sempat nyantri
selama tiga tahun di sana. Dan saat ini, jumlah santri tercatat ada 1.600
santri dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk dari Kalimantan, Sumatera,
dan daerah lainnya.
Sumber: Link
No comments:
Post a Comment
Saran, kritikan dan masukan, kami siap menunggu.
Terimakasih.